Memanasnya hubungan diplomatik
Indonesia – Malaysia sudah pada titik nadir. Eskalasi yang memanas bermula di
tangkapnya pejabat Pemerintah Indonesia didalam wilayah Indonesia dan menyeret
ke Malaysia kemudian memancing reaksi dari masyarakat Indonesia. Tidak perlu
analisis yang dalam untuk menyatakan apakah Malaysia telah salah atau tidak
melakukan perbuatannya. Tidak perlu diskusi panjang untuk menyatakan Malaysia
telah “melanggar norma-norma internasional” yang terbukti mengganggap remeh
Indonesia. Dan tidak perlu Mahkamah Internasional untuk menyatakan semuanya.
Cukup kasat mata dari cerita-cerita di berbagai media massa dan Rapat Dengar
Pendapat di Komisi I DPR baru lalu.
PERSEPSI HUBUNGAN DIPLOMATIK
Sebagai negara serumpun (ujaran yang
paling sering didengar), identitas Malaysia yang tidak bisa dipisahkan dengan
Suku Melayu mempunyai sejarah yang panjang dengan Melayu Indonesia. Identitas
Suku Melayu ini bahkan lebih mudah ditarik akar sejarah panjang dengan
Kedatangan orang Minang pertama di Negeri Sembilan sekitar tahun 1467 M. Orang
Minang pertama yang datang di Negeri Sembilan tiba di Rembau adalah Datuk Lelo
Balang bersama beberapa orang dari Batu Hampar, Mungkar, Simalanggang,
Payakumbuh dan beberapa nagari lain di daerah Luhak 50 Koto (sekarang Kabupaten
50 Kota dan Kabupaten Kampar). Orang Minang kemudian mendirikan Kerajaan Negeri
Sembilan dan rajanya pun didatangkan dari Kerajaan Pagaruyung, pertama Raja
Malewar (1773-1795). Hubungan ini terus berlanjut. (www.sumbarprov.go.id).
Hubungan Melayu Malaysia-Indonesia
dapat ditandai dengan simbol-simbol Kerajaan Malaysia yang secara prinsip tidak
berbeda dengan simbol-simbol Kerajaan Melayu di Indonesia sebelum kemerdekaan.
Bahkan simbol-simbol ini masih menjadi pengetahuan dan identitas yang paling
khas yang menjadi pegangan masyarakat Melayu di Indonesia.
Bacaan ini sekedar gambaran hubungan
kekerabatan, persaudaraan, simbolis antara Melayu Malaysia dan Melayu
Indonesia. Penulis tidak akan mengupas apakah Melayu di Indonesia merupakan
saudara tua dari Melayu di Malaysia. Selain pembahasan itu tidak akan menyoroti
persoalan ini, juga untuk memberikan pembahasan issu hubungan diplomatik
Indonesia dan Malaysia.
Hubungan diplomatik
Indonesia-Malaysia yang khas dan kental membuat analisis Indonesia dan Malaysia
sebagai saudara sudah tepat. Selain kultur, kekerabatan, simbol, agama, sejarah
panjang persaudaran Indonesia – Malaysia selain merupakan aktor utama
berdirinya ASEAN juga mempengaruhi kawasan selat Malaka sebagai daerah kawasan
yang paling aman dari konflik dan pertarungan pertentangan di negara ASEAN.
Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia juga menjadi pelajaran berbagai model
penyelesaian konflik di berbagai kawasan dunia.
Sebenarnya issu-isu panas yang hampir
bersinggungan dan mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia cenderung
naik turun. Wilayah Kalimantan Utara yang “memancing marah” Soekarno adalah
hubungan diplomatik yang paling keras dan menjadi catatan penting dalam
perjalanan sejarah di Indonesia. Namun praktis setelah Presiden Soekarno,
hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia cenderung “tenang”. Riak-riak seperti
“kasus TKI”, “perebutan pulau Sipadan-Ligitan”, menjadi wacana yang sempat
memanas namun kemudian dapat diselesaikan dengan tenang. Istilah pepatah
Melayu, “hangat-hangat tahi ayam”.
PERSEPSI EKONOMI
Sebagai bagian persemakmuran
Inggeris (commonwealth), Malaysia berhasil melesat menjadi pemain ekonomi
penting di kawasan Asia. Tingkat kemakmuran yang tinggi kemudian menarik minat menjadi
tenaga kerja di Malaysia termasuk Indonesia dan Philipina. Tingkat kemakmuran
yang tinggi selain juga adanya jaminan berbagai fasilitas kesehatan, tunjangan
pendidikan dan tinggi perhatian Malaysia menghadapi era globalisasi. Petronas
tahun 1970 “berguru” ke Pertamina, sekarang menjadi pemain penting. Logo
Petronas menjadi wajah yang tidak asing dalam lomba bergengsi F1. Bahkan Sepang
merupakan salah satu tempat putaran bergengsi.
Pertarungan Indonesia-Malaysia dalam
perebutan negara produsen minyak sawit terbesar dunia. Tahun 2007, Malaysia
mengklaim produksi minyak sawitnya 14 juta ton (waspada.co.id, 29 Agustus
2007). Ambisi ini kemudian dibuktikan Indonesia dengan areal pada tahun 2006
seluas 6,075 juta hektar dan produksi sebanyak 16,08 juta ton. Dan pada tahun
2020 ambisi ini akan meningkat dengan total produksi 40 juta ton dengan luas
lahan seluas 9,7 juta hektar (Kompas 4 Juni 2010).
Walaupun kemenangan Indonesia bisa
meraih sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun menimbulkan
implikasi yang berbeda. Di Indonesia, justru dengan bertambahnya areal untuk
perkebunan kelapa sawit menimbulkan konflik di berbagai tempat. Mulai dari
persoalan lingkungan hidup, persoalan sosial, persoalan tanah, konflik
horizontal hingga berbagai persoalan yang sampa sekarang praktis belum banyak
diselesaikan. Dengan demikian, ambisi Indonesia sebagai produsen minyak kelapa
sawit terbesar di dunia, praktis tidak memberikan dampak dalam perekonomian
nasional dan memberikan kepastian terbukanya lapangan kerja yang mampu
menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat.
Implikasi ini berbanding terbalik
dengan Malaysia, yang dapat “menikmati” suksesnya ekspor minyak kelapa sawit
dan mampu membuka lapangan kerja. Dengan demikian, selain sektor-sektor rumah
tangga, Tenaga kerja dari Indonesia juga mengisi lapangan pekerjaan di sektor
perkebunan kelapa sawit.
PERSEPSI POLITIK
Sebagai negara dalam abad modern,
Indonesia terbukti mampu mengadakan Pemilu baik untuk memilih anggota Parlemen,
Kepala Daerah, bahkan Pemilihan Presiden secara langsung. Terlepas dari
berbagai peristiwa yang “bernuansa money politik”, prestasi politik di
Indonesia jauh meninggalkan politik di Malaysia. Indonesia sudah terbukti
sebagai negara yang menganut “pers bebas”, sebagai alat kontrol yang terbukti
effektif mewarnai jagat politik, “kebebasan berorganisasi”, kebebasan
mengemukakan pendapat”, dan berbagai pranata-pranata politik sebagai identitas
negara modern yang mengagung-agungkan demokrasi.
Kondisi ini berbanding terbalik di
Malaysia. Pers yang cenderung masih “disensor”, masih berlakunya Internal
Security Act/ISA (Semacam UU Subversif), partai yang masih berkutat kepada
“paper union”, dan masih terdengarnya “kongkalikong” antara penguasa didalam
mengelola pemerintahan. Bahkan praktis, issu SARA yang menempatkan diskriminasi
“Melayu” sebagai kasta yang paling tinggi dan “diproteksi” sebagai simbol
negara Malaysia. Praktis dikatakan, suasana dan iklim politik di Malaysia,
tertinggal 20 tahun dari Indonesia (dalam cengkraman orde baru).
Sehingga pernyataan Menteri Luar
Negeri Malaysia yang meminta Pemerintah Indonesia agar dapat “menertibkan
demonstran” adalah teriakan di siang bolong dan ditangkap masyarakat Indonesia,
sebagai “teriakan” yang tidak mengikuti perkembangan politik di Indonesia.
CATATAN PENTING
Menjadi pertanyaan bagi kita semua,
bagaimana menyikapi hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia ?. Berangkat dari
berbagai pertimbangan diatas, maka dapat dikategorikan, harusnya dibangun
hubungan diplomatik yang sejajar yang saling “menghormati”, “menghargai” dan
toleran.
Hubungan diplomatik dapat dilakukan
apabila adanya “leadership” yang kuat dari para diplomat dalam mewujudkannya.
“Leadership” yang kuat dapat kita teladani dari perjalanan panjang sejarah
Menteri Luar Negeri Indonesia.
Kita masih ingat sepak terjang
diplomasi Menteri Luar Negeri Sutan Syahrir dan Agus Salim dalam periode
revolusi genting Indonesia dalam berbagai perjanjian dengan Belanda, atau
“kehandalan” Mr. Roem, “Si Kancil” Adam Malik, atau konsepsi “Wawasan Nusantara”
terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas
kontinen Indonesia Mukhtar Kusumaatmaja, “Si juru damai” Ali Alatas.
Nama-nama yang disebutkan baik
bertindak sebagai Menteri Luar Negeri maupun mewakili Indonesia dalam forum-forum
internasional, membuat nama Indonesia menjadi perbincangan internasional. Kita
akan mudah mengingat, Indonesia sebagai penggagas KTT Non Blok, upaya “cerdas”
dalam menterjemahkan UUD 1945 dalam slogan “bebas aktif”, “negara-negara OPEC,
OKI, “pioneer” ASEAN dan berbagai perbincangan internasional yang menempatkan
Indonesia dihormati. Dihormati Indonesia dalam kancah internasional membuat
hampir praktis, tidak adanya memanas hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia.
Dihormati Indonesia juga menyebabkan Indonesia dapat menyelesaikan berbagai
persoalan perbatasan dan berbagai “riak-riak” dengan berbagai negara.
jangan bosan-bosan untuk membaca semoga artikel berikut bermanfaat :)
Posting Komentar